Aceh Telah Dibuat Tugu Titik Nol Peradaban Islam Tahun 1984, Jokowi Malah Kembali Resmikan Barus
Sejarah telah mencatat,
Aceh adalah daerah pertama masuk Islam ke Indonesia. Sejak abad
pertama Hijrah (8 M), agama Islam sudah masuk ke Timur Aceh, yakni Peureulak
yang kemudian berkembang sampai ke Pasee, Aceh Utara. Sejarah juga mencatat, kerajaan Islam Samudra
Pasee kala itu telah menjalin hubungan diplomatik dengan luar negeri.
Aceh Telah Dibuat Tugu Titik Nol Peradaban Islam Tahun 1984, Jokowi Malah Kembali Resmikan Barus (Foto:Ist) |
Aceh yang merupakan daerah pertama masuk Islam bukan sekadar
cerita rakyat dan lagenda, tetapi merupakan hasil penelitian para sarjana, ahli
sejarah, dan arkeolog. Hal tersebut telah tertulis dengan baik dalam kitab
maupun batu nisan. Pada tahun 1963 pernah dibuat seminar tentang peradaban
islam tertua yang dihadiri para pakar seluruh dunia Islam dan mengukuhkan
Pereulaklah yang memiliki peradaban Islam tertua nusantara.
Karena hal tersebut pula Aceh juga diberi gelar Serambi Mekkah.
Dalam kitab ‘Idharul Haq’ karya Syeikh
Ishaq Al-Makarani, telah menyebutkan siilsilah raja-raja Pereulak yang beragama
Islam, kemudian dilanjutkan oleh raja-raja Pasee. Sementara daerah lain ketika
itu masih beragama Hindu dan Budha. Orang Aceh punya kebanggaan sendiri sebagai
daerah pertama masuk Islam, apalagi telah diakui sejarawan dunia, baik
Islam maupun non islam.
Negara-negara tetangga
seperti Malaysia, Pattani/Thailand, Brunei Darussalam, Mesir, Arab Saudi,
India, Belanda, Pakistan telah mengakui hal tersebut, dan telah mereka tuliskan
dalam berbagai buku mereka.
Namun, baru-baru ini sudah ada orang yang ingin melenyapkan klem
peradaban Aceh sebagai daerah pertama masuk dan berkembangnya Islam. Mereka mulai
menulis berbagai buku tafsiran terbaru tanpa bukti outentik untuk menghancurkan
klem tersebut.
Mereka mengklaim Barus lebih awal dari Aceh dengan hanya
menunjukkan nisan-nisan tua polos tanpa catatan. Hanya dengan bukti tak otentik
tersebut, di Kelurahan Pasar Barus Gerigis,
Kecamatan Barus, Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara telah dibuat
Monumen “Barus Titik Nol Masuk Islam ke Nusantara”. Parahnya lagi, Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo (Jokowi) pun
dengan terlalu tergesa-gesa meresmikan Tugu Titik Nol Pusat Peradaban Islam
Nusantara itu pada Jumat, 24 Maret 2017 kemarin.
Monumen Barus tersebut tentu
tak rasional. Fakta membuktikan, Peureulak telah dibuat monument pada tahun 1984
dan belum diselesaikan sampai sekarang, malah telah dibangung monument baru
dengan menghancurkan bukti-bukti yang ada. Aceh sebagai daerah pertama masuk
Islam, secara historis juga sangat dirugikan.
Hal ini membuat geram banyak Sejarawan Aceh dan Dunia. Penulis Novel Sejarah, Putra Gara, mengecam peresmian itu. Dengan lantangnya ia
mengatakan Jokowi tidak mengerti sejarah. Ia siap menjadi pemateri
sejarah kepada Jokowi dan siapa saja yang membuat klem baru tersebut untuk
membeberkan kebenaran.
“Jokowi
Tidak Mengerti Sejarah. Barus Bukan Tempat Peradaban Islam Tertua. Barus sebelum
masehi hanya pelabuhan besar, di mana tempat mengangkut rempah-rempah, kapur
barus, kayu dll ke beberapa belahan dunia, salah satunya ke Timur Tengah,”
Ujar Putra Gara.
“Kesultanan
Barus baru ada abad 14 Masehi. Sementara Islam masuk ke Jeumpa (Aceh) abad ke
7. Cicitnya Rosulullah, anaknya Husein, pasca perang di Karbala, merapat di
Jeumpa, dan menikah dengan seorang putri raja Jeumpa, yang anaknya kelak
mendirikan kerajaan Peureulak,” Semprotnya.
Selain itu, Sastrawan Aceh yang
lain yang juga murid kesayangan Ali Hasjmy, H. Ameer Hamzah mengatakan, ada kemungkinan
sejarah sengaja dikotak-katik untuk tujuan melemahkan peran Aceh.
“Mungkin sebab ketidaksukaan mereka
kepada Aceh yang kerap memborontak (DI/TII, GAM) karena meminta otonomi
pengegakan Syariat Islam. Nampak jelas bahwa orang-orang Islam sekuler dan non-muslim
sedang berupaya menghapuskan Aceh sebagai daerah yang berjasa terhadap
perkembangan Islam Nusantara,” Ujarnya.
Sementara itu, pemerhati
sejarah Aceh, Mustafa, mengatakan Presiden Jokowi sudah tidak membaca dan tidak
mengerti sejarah.
“Kalau hanya hasil historinya
mengacu pada makam, sangat mustahil sebuah daerah bisa ditetapkan, dan
sejarawan mana yang berani mengeklaim bahwa Barus adalah pertama masuknya Islam
ke Indonesia, apa tidak dibaca sejarah atau tidak tau sejarah,” paparnya.
“Islam pertama di Indonesia adalah Samudra Pasai Peureulak, Aceh
Timur. Pada saat itu, pedagang Barus sering ke Selat Malaka untuk menjual batu
kapur, mereka belum Islam, namun Peureulak sudah menjadi kerajaan Islam, kan
aneh jika kota Barus ditetapkan sebagai masuknya Islam di Indonesia,”
semprotnya.
Masyarakat pencinta Sejarah Aceh ini menduga kuat peresmian Kota
Barus sebagai kilometer nol Islam Nusantara tidak terlepas dari kepentingan pribadi
Presiden Jokowi.
“Ada kepentingan apa tiba-tiba Jokowi langsung menetapkan,
apakah sebelumnya sudah uji publik dan menggelar seminar seperti ditetapkan
Samudra Pasai sebagai daerah pertama masuknya Islam ke Indonesia bahkan Asia
Tenggara,” simpulnya.
Dari penelusuran kami, ada berbagai referensi buku yang
memperkuat Aceh sebagai daerah pertama masuk Islam sangat antara lain; Kitab
Idharul Haq, (Ishaq Makarani), Islam Fil Biladil Indonesia, (Ahmad al- Usairy)
Silsilah Tarikh Islamy (Mahmud Syajir), Rihlah Ibnu Batutah (Ibnu Batutah),
Almuslimun Fil al-Alam (Abdurrahman Zaki, Al-Islam fi Indonesia (Muhammad
Dhiya’ da Abdullah Nuh), Sejarah Ummat Islam (Hamka) dan Sejarah Masuk dan
Berkembangnya Islam di Nusantara oleh Prof Ali. Hasjmy.
Tak hanya itu, banyak pula sejarawan baik dari dalam atau luar
negeri seperti China, Malaysia, Belanda, Pattani-Thailand, Arab Saudi, Tunisia
dan Mesir yang mengakui bahwa Aceh adalah daerah pertama penyebaran Islam di
Nusantara.
Adapun sejarawah tersebut yaitu Ibnu Batutah (Tunisia),
Laksamana Cheng Ho (China), Prof. Dr. Hamka, Prof. Dr. Ibrahim Alfian (UGM)
Prof. Ali Hasjmy (UIN Ar-Raniry), Prof. Dr. Naguib Al-Atas (Malaysia),
Prof. Dr. AJ Pijkar (Belanda), Prof Dr. Muarif Ambari (UI), Prof, Dr.
Abubakar Atjeh (UIN Jakarta), Prof Datok Burhan (Malaysia), Prof. Dr. C. Snoeck
Hurgronye (Belanda), Ismail Benjasmish (Pattani-Thailand), Dr. Ahmad Al
Usairy (Arab Saudi), Prof Dr. Ahmad Syalabi (Mesir). Dan masih banyak lagi yang
tak dapat disebutkan dalam ruang terbatas ini.