SEURAMOE JEUMPA

[img url="/" rel="SEURAMOE JEUMPA" src="http://1.bp.blogspot.com/-XWFdgGMuFPw/WS9BNw4AAJI/AAAAAAAAAPM/ybJ_43mbfCY2HgxN5ZQ01wVGB2pTz018wCK4B/s1600/10419684519072686025.gif"/]
Latest Post

Tugu Simpang Lima Kota Banda baru saja diresmikan. Kehadirannya pun baru-baru ini banyak memunculkan interpretasi tentang konsep dan bentuk dan desainnya. Ada yang mengagumi, mempertanyakan dan ada juga yang mempertanyakannya. Respons yang variatif seperti itu memang wajar mengingat belum semua masyarakat paham mengenai konsep dan desain Tugu Simpang Lima.


tugu simpang 5 banda aceh

Bukan sedikit yang berpikir bahwa tugu tersebut sekadar asal jadi atau malah dituding meniru bentuk-bentuk lain. Namun banyak yang tahu bahwa sebenarnya proses desain tugu tersebut menghabiskan waktu yang tidak singkat melalui riset, dengar pendapat dan diskursus yang disandarkan pada disiplin keilmuan yang berkompeten di bidangnya. Intinya, desain yang sederhana ini tercipta melalui proses panjang yang tak seperti disangka banyak orang.

Ada empat konsep dasar yang dielaborasi dalam pengembangan desain Tugu Simpang Lima Banda Aceh, antara lain: Konteks lokasi, isu desain, karakter desain dan budaya perusahaan Bank Bukopin. Mengapa Bank Bukopin? Ya karena tugu ini direvitalisasi oleh Bank Bukopin bekerja sama dengan Pemerintah Kota Banda Aceh.

Proses perencanaan

Yang pertama adalah konteks lokasi. Dalam proses perencanaan, kondisi eksisting kawasan perencanaan dan konteks lokasi menjadi hal penting yang dipertimbangkan. Tugu Simpang Lima Banda Aceh merupakan satu landmark yang terletak pusat kota yang memiliki sejarah dan memori yang sering dijadikan lokasi penyampaian aspirasi dan demonstrasi.

Pada konteks lokasi, ada empat eksplorasi konsep yang diterapkan pada desain, antara lain: axis-oriented (sumbu), urban oase, multi-purposes building, dan landmark Kota Banda Aceh. Sesuai namanya, lokasi tugu ini memiliki lima persimpangan jalan protokol yang selalu padat, yaitu: Jalan Tgk HM Daud Beureuh, Jalan T Panglima Polem, Jalan Sri Ratu Safiatuddin, Jalan Diponegoro, dan Jalan T Angkasa Bendahara. Aksis ini direspons dengan menciptakan bentuk tugu yang berorientasi menghadap kelima aksis (sumbu) jalan yang ada pada sekitar kawasan.

Konsep urban oase diterjemahkan dengan menghadirkan lansekap taman kecil dan Kolam Air Mancur sebagai elemen pendukung untuk memberi nilai lebih terhadap tugu. Keberadaan taman dan Kolam Air Mancur tersebut diharapkan mampu berkontribusi untuk mengendalikan iklim mikro dalam menurunkan suhu di sekitar tugu.

Kemudian, konsep multi-purposes sculpture diterjemahkan melalui penciptaan bentuk tugu yang bukan hanya mengedepan estetika saja, namun juga aspek yang fungsional. Sesuai dengan latar belakang konteks lokasi tugu sebagai tempat yang sering dijadikan lokasi penyampaian aspirasi dan demonstrasi, maka desain tugu yang baru ini justru memberi ruang yang lebih nyaman untuk itu.

Semakin hari kota akan semakin berkembang menyesuaikan diri. Identitas kota dapat dipertahankan, namun tidak tertutup kemungkinan bahwa perkembangan kota bisa melahirkan identitas baru. Kehadiran tugu baru ini diharapkan tetap bisa menjadi penanda kota (landmark) menggantikan tugu yang lama.


Isu desain

Konsep dasar yang kedua adalah isu desain. Isu desain yang diangkat dalam desain ini adalah isu-isu kekinian yang berhubungan dengan lokalitas, identitas, dan karakter Kota Banda Aceh saat ini. Ide awal perencanaan tugu ini diambil dari bentuk Pintoe Aceh, sesuai dengan permintaan Ibu Wali Kota Banda Aceh. Bentuk yang ditransformasikan adalah setengah Pintoe Aceh yang kemudian dieksplorasi melalui beberapa proses dengan memasukkan nilai-nilai dari konsep kota madani.

Tugu tersebut berjumlah lima pilar utama yang merujuk pada lima Rukun Islam. Pilar tersebut berbentuk setengah Pintoe Aceh yang menjulang ke atas. Bentuk Pintoe Aceh akan terlihat secara abstrak dari view tertentu. Beberapa menilai bahwa tugu ini bentuknya asimetris. Padahal ketidaksimetrisan itu disengaja sebagai bagian dari desain yang dinamis, agar visualisasi yang tercipta lebih kaya dan beragam jika dilihat dari berbagai sudut di Simpang Lima itu sendiri.

Belum lagi ada yang mengait-ngaitkan bentuk tugu dengan lambang partai politik tertentu. Padahal tudingan tersebut sama sekali tidak relevan. Betapa banyak hal yang menunjukkan kemiripan di dunia ini meskipun tidak ada kaitannya sama sekali, misalnya bentuk bulan sabit yang sering dijadikan logo organisasi, lambang negara dan sebagainya dengan tujuan dan makna masing-masing. Adalah sebuah kemustahilan pula mengaitkan proses desain dan pembangunan tugu ini dengan negosiasi pada partai politik tertentu. Kalau memang benar melibatkan partai politik tertentu, pasti pihak Bank Bukopin dan pemerintah kota akan langsung menolak mentah-mentah ide dan konsep desain tugu tersebut.

Satu prinsip kota madani yang diterjemahkan dalam desain tugu ini adalah konsep hablum-minallah dan hablum-minannas. Konsep ini diterjemahkan dengan mentranformasikan bentuk yang mengerucut ke atas (vertikal) sebagai simbol hablum-minallah. Sedangkan konsep hablum-minannas sendiri diterjemahkan melalui bentuk kaki tugu, yang jika terlihat dari atas akan membentuk sebuah transformasi rangkulan yang berkesinambungan dan tidak berujung.

Asmaul Husna yang diterapkan pada konsep awal memiliki filosofi sebagai jembatan atau media menyatukan konsep hablum-minannas menuju hablum-minallah. Ini memiliki filosofi bahwa, jika warga kota saling bahu membahu dan saling bekerja sama dalam membangun Kota Banda Aceh dengan mengikat diri pada konsep hablum-minallah, maka visi isi kota madani akan tercapai.
Mengenai perubahan konsep Asmaul Husna menjadi ornamen Pintoe Aceh, Wali Kota Banda Aceh Illiza Sa’aduddin Djamal sudah menjelaskan bahwa setelah melakukan audiensi dengan MPU, para ulama tidak setuju dengan dibuatkannya tulisan Asmaul Husna tersebut. Menurut para ulama, Tugu Simpang Lima merupakan pusat demonstrasi masyarakat kota, sedangkan tulisan Asmaul Husna merupakan tulisan yang sangat sakral. Oleh sebab itu, tidaklah sesuai disandingkan dengan berbagai aksi demonstrasi tersebut.


Identitas kota

Desain ini juga memasukkan unsur identitas kota Banda Aceh. Hal ini dinisbatkan pada Hari Jadi Kota Banda Aceh, 22 April, di mana hari jadi sebuah kota adalah sesuatu yang memorable bagi setiap masyarakat kotanya. 22 Buah jumlah lampu taman adalah bermakna tanggal jadinya Kota Banda Aceh, sedangkan 4 tingkatan tugu ini bermakna bulan jadinya Kota Banda Aceh (April).

Bentuk tugu didesain ikonik dan estetis dengan konsep bentuk modern dan dinamis sebagai etalase penada kawasan Simpang Lima Banda Aceh. Sebagaimana telah dijelaskan diatas, bahwa tugu ini tidak didesain untuk sekadar menjadi sculpture atau landmark kota, namun juga fungsional sebagai ruang publik kota. Desain Tugu Simpang Lima ini diharapkan mampu menggambarkan nilai seni, filosofi, karakter, dan cita-cita yang mencerminkan keberadaan, dinamika, dan orientasi futuristik, baik bagi wilayah maupun warga kotanya, dengan mempertimbangkan keharmonisan dengan konteks lokasi kawasan.

Tugu Simpang Lima ini direvitalisasi oleh Bank Bukopin bekerja sama dengan Pemerintah Kota Banda Aceh. Oleh karena itu salah satu konsep yang di transformasikan dalam desain adalah 3 dari 5 budaya Perusahaan Bukopin: respect others, excellent, dan dedicated to customers. Ketiga budaya tersebut diterjemahkan dengan menghadirkan desain yang respek terhadap kebutuhan masyarakat kota, memberi nilai tambah bagi lingkungan sekitar, dan berkontribusi terhadap perkembangan Kota Banda Aceh. Pada setiap ujung tugu juga akan dipasang kamera CCTV.

Keberadaan Tugu Simpang Lima bagi warga Kota Banda Aceh diharapkan dapat menimbulkan rasa bangga dan cinta kotanya, serta menimbulkan apresiasi, inspirasi, dan daya tarik bagi para pemangku kepentingan dalam beraktivitas membangun Kota Banda Aceh. Harapan ke depan, bukan hanya tugu saja yang diperindah, Pemko Banda Aceh juga dapat menata kawasan Simpang Lima secara keseluruhan seperti jalur pejalan kaki, papan reklame, dan lain-lain. Semoga!


Ditulis oleh Zulhadi Sahputra, ST, MT. dan Dr. Ir. Izziah, M.Sc., Dosen Jurusan Arsitektur dan Perencanaan, Fakultas Teknik Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), Darussalam, Banda Aceh.


Sumber: Serambi Indonesia

Dua seniman Aceh, yang juga pengajar pada Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Aceh, Dedy Kalee dan Teuku Afifuddin melangsungkan kunjungan silaturrahmi dengan tokoh Aceh di Jakarta, Mayjen TNI Abdul Hafil Fuddin SH SIP MH, yang merupakan Tenaga Ahli Pengkaji Bidang Geografi Tawaran Geografi Lemhanas) di Jakarta, Selasa (6/6/2017).

Dua Seniman Aceh Gelar Silaturahmi Budaya ke Jakarta
Seniman Aceh Deddy Kalee (kiri) dan Teuku Afifuddin (kanan) saat bersilaturrahmi dengan Mayjen TNI Abdul Hafil Fuddin SH SIP MH, di Jakarta, Selasa (6/6/2017). 

Dalam pertemuan tersebut, Mayjen Abdul Hafil Fuddin mengingatkan kepada generasi muda Aceh agar tidak melupakan nilai-nilai tradisi Aceh yang berbasis Islam. Dalam hal ini, Mayjen Hafil Fuddin mencontohkan kemajuan bangsa-bangsa seperti India, China, Jepang, dan Korea yang sejatinya karena salah satunya ditopang kekuatan tradisi mereka.

"Bangsa -bangsa itu maju, lantaran mereka bangsa yang kuat dengan tradisi dan menjadi pendorong kemajuan bangsanya. Nah, bagaimana agar seni mampu mengubah cara pandang orang Aceh untuk mencapai kemajuannya, ini yang harus terus dikembangkan. Seni budaya Aceh itu basisnya adalah Islam," ujar Mayjen Hafil Fuddin.

Menurutnya, dalam wilayah geografi, bukan hanya dimaknai sebagai wilayah semata, melainkan ada yang disebut dengan kultural geografik, mencakupi wilayah budaya.

"Di sinilah peran penting budaya itu, mendorong dan mengubah cara pandang masyarakat. Dan itu tugas Anda sebagai seniman," ujarnya.

Pertemuan silaturrahim yang merupakan bagian dari rangkaian silaturrahmi budaya kepada berbagai pihak di Jakarta itu juga menyinggung peran ISBI Aceh, apakah mampu memainkan peran mengubah karakter manusia Aceh atau tidak?

"Kembali, itu ISBI Aceh yang bisa menjawabnya," tambah Abdul Hafil yang juga dikenal sebagai tokoh pembina olahraga nasional.

Deddy Kalee dan Teuku Afifuddin mengaku mendapat banyak masukan dari pertemuan informal tersebut. "Kami generasi muda Aceh, harus terus menggali nilai nilai tradisi. Pandangan Pak Hafil makin memperkuat tekad kami menyelami nilai-nilai tradisi Aceh dan mengimplimentasikannya dalam karya-karya kreatif kami," ujar Deddy Kalee, yang dikenal sebagai perupa, pembuat dan peniup alat musik Aceh seureune kalee.

Sementara Teuku Afifuddin, selain dikenal sebagai organisatoris seni yang terampil, juga seorang penyair dan akademisi seni, menamatkan pendidikan megister seni dari ISI Padangpanjang. Keduanya, Deddy dan Afif juga diagendakan bersilatirrahim dengan seniman Aceh lainnya yang berdomisili di Jakarta.



Sumber: AcehTribunnews

JAKARTA - Seluruh fraksi di Komisi X DPR RI menyatakan dukungan penuh, diusulkannya Laksamana Pocut Meurah Keumalahayati sebagai pahlawan nasional. Menindaklanjuti gagasan tersebut, Pemerintah Aceh diminta mengajukan usulan secara tertulis kepada Presiden melalui Menteri Sosial.

Persetujuan penuh fraksi-fraksi Komisi X itu dicapai dalam rapat dengar pendapat umum Komisi X dengan pengurus organisasi Kongres Wanita Indonesia (Kowani), di Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (6/6/2017).

Ketua Komisi X DPR, Teuku Riefky Hasrya, bersama pengurus Kowani, dan Sultanah Putroe Safiatuddin Cahaya Nur'ala, cucu sultan terakhir Aceh (kedua dari kanan), di ruang rapat Komisi X DPR RI dalam rapat usulan Laksamana Keumalahayati menjadi Pahlawan Nasional

Dalam rapat yang dipimpin Ketua Komisi X, Teuku Riefky Harsya tersebut dihadiri Ketua Umun Kowani, Dr Ir Giwo Rubanto Wiyogo MPd, Sekjen Kowani, Titien Pamudji SIP, dan sejumlah pengurus Kowani lainnya. Rapat tersebut juga dihadiri Sultanah Putroe Safiatuddin, Cahaya Nur’alam, cucu sultan terakhir Aceh, Sultan Alaidin Muhammad Daudsyah, dan penulis sejarah Aceh, Pocut Haslinda Syahrul.

Ketua Komisi X DPR RI, Teuku Riefky Harsya, menyatakan Komisi X akan meminta kepada Pimpinan DPR RI mengeluarkan Surat Rekomendasi terhadap usulan pencalonan Laksamana Keumalahayati sebagai pahlawan nasional kepada Pemerintah.

“Kesepakatan seluruh fraksi adalah menyetujui diusulkannya Keumalahayati sebagai pahlawan nasional. Kami mendukung 1000 persen,” ucapnya.

Ide direkomendasikannya kepahlawanan Keumalahayati diajukan Kowani, federasi dari 90 organisasi wanita tingkat nasional yang berdiri sejak 22 Desember 1928. Organisasi tersebut sepakat merekomendasikan Laksamana Keumalahayati sebagai pahlawan nasional, setelah mempelajari sejarah dan sepak terjang Keumalahayati yang memimpin Armada Laut Kesultanan Aceh pada abad ke-16.

“Peran dan kebesaran Keumalahayati adalah fakta. Itu bukan dongeng. Bangsa Indonesia memiliki teladan seperti Keumalahayati, karenanya kami sepakat merekomendasikannya sebagai pahlawan nasional,” kata Ketua Umum Kowani Giwo Rubanto.

Giwo juga menjelaskan, Laksamana Keumalahayati adalah laksamana perempuan muslim dunia pertama yang memimpin armada perang. Kesatuan TNI Angkatan Laut telah pula mengabadikan nama Keumalahayati dalam kapal perang KRI Keumalahayati pada 1987. Nama Keumalahayati juga ditabalkan sebagai nama sejumlah gedung, rumah sakit, serta lembaga pendidikan.

“Sehingga Kowani sangat ingin Laksamana Keumalahati diusulkan sebagai pahlawan nasional,” kata Giwo.

Giwo juga mengatakan, menambahkan pengukuhan kepahlawanan Keumalahayati harus dilakukan melalui usulan tertulis dari Gubernur Aceh. Usulan paling lambat sudah harus diterima Menteri Sosial sebelum 16 Juni 2017, sehingga bisa dikukuhkan pada 10 November 2017.

Menurut keterangannya, Kowani sudah menyurati Gubernur Aceh, tapi belum memperoleh respon.”Kita harapkan melalui Komisi X, bisa menindaklanjuti hal ini,” ujanya.

Disebutkan saat ini baru ada 12 pahlawan wanita Indonesia, yaitu Martha Christina Tiahuhu, Nyi Ageng Serang, Cut Nyak Dhien, Cut Nyak Meutia, RA Kartini, Maria Walanda Maramis, Dewi Sartika, Nyi. Hj. Siti Walidah Ahmad Dahlan, Hj. Rangkayo Rasuna Said, Po Daeng Risaju, Fatmawati Soekarno, Siti Hartinah Soeharto.

Saat Syeikh Abdelrahman saat memimpin shalat di Masjid utama di negeri yang dijuluki Serambi Mekkah ini, pada malam pertama Ramadhan 1438 H, atau Jumat (26/5/2017) lalu, tak sanggup menahan haru. Ini adalah pertama kalinya memasuki Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh.

 “Saya menangis terharu melihat antusiasme masyarakat melaksanakan shalat Tarawih di Masjid (Baiturrahman). Sampai memacetkan beberapa ruas jalan di sekitar masjid,” ungkap Syeikh asal Mesir ini.

Syeikh Abdelrahman Eldesouky
Syeikh Abdelrahman Eldesouky Tak Sanggup Menahan Haru Saat Masuk Baiturrahman

Hal itu disampaikan Syeikh Abdelrahman bernama lengkap Syeikh Abdelrahman Eldesouky Taha Radwan dalam bahasa Arab di tempat penginapannya di Hotel Grand Permata Hati, Ulee Lheue, Banda Aceh, didampingi oleh Ketua Umum Dewan Masjid Indonesia (DMI) Aceh, Ustaz Fachruddin Lahmuddin SAg MPd, sekaligus bertindak sebagai penerjemah.

Syeikh kelahiran Gharbiah, Mesir, 12 Mei 1964 ini melanjutkan, suasana Tarawih di Masjid Baiturrahman malam itu benar-benar mengingatkan dirinya seperti sedang berada di Masjidil Haram, Mekkah dimana jamaah berdesak-desakan untuk shalat dan melaksanakan berbagai ibadah lainnya kepada Allah.

Bagi Syeikh Abdelrahman, ini adalah kali pertama ia menginjakkan kakinya di bumi Serambi Mekkah. Ia diundang oleh Pengurus Wilayah Dewan Masjid Indonesia (DMI) Aceh dan Pemerintah Aceh untuk menjadi imam shalat Tarawih di Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh selama sebulan penuh dalam Ramadhan tahun ini.

Syeikh Abdelrahman menuturkan, salah satu motivasi dirinya memenuhi undangan DMI Aceh adalah karena ingin melihat dan membuktikan langsung semangat keagamaan dan beribadah masyarakat Aceh. Sebab selama ini dirinya hanya mendengar Aceh merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang mayoritas masyarakatnya muslim dan memiliki semangat keagamaan yang cukup baik. “Saat saya tiba ke Aceh, ternyata informasi itu benar-benar terbukti,” ujarnya.

Direktur Lembaga Alquran Universitas Al-Azhar di Provinsi Gharbiah ini juga merasa tak keliru memilih untuk memenuhi undangan ke Aceh pada Ramadhan 1438 Hijriah tahun ini. Sebab, ia merasa penyambutan yang diterimanya luar biasa atau jauh lebih baik dari yang diperkirakan sebelumnya. Baik makanan, tempat tinggal, atau fasilitas lain yang diterimanya tak ada yang kurang sesuatu apapun.

“Jadi, saya merasa datang ke Aceh seperti masuk ke rumah keluarga sendiri. Saya tidak merasa sebagai orang asing di sini, apalagi umat muslim Aceh menurut saya sangat mencintai agamanya. Insya Allah saya bisa menyelesaikan tugas selama sebulan di Aceh,” ungkap Syeikh.

Sebenarnya, tahun ini Syeikh juga menerima undangan untuk menjadi imam Tarawih dari komunitas muslim di Australia. “Tapi, karena ingin melihat Aceh dan sudah terbiasa dengan komunitas Melayu, makanya saya lebih memilih datang ke Aceh. Sebelumnya saya juga pernah memenuhi undangan muslim di Prancis,” ungkap Syeikh yang memiliki empat anak ini.

Dikatakan, dirinya memenuhi undangan ke berbagai negara khusus pada bulan Ramadhan. Sebab, di luar bulan Ramadhan ia harus melaksanakan tugas rutin sebagai Direktur Lembaga Tahfiz Alquran Al-Azhar di Provinsi Gharbiah, Mesir.

Soal makanan yang disuguhkan kepadanya selama di Aceh, Syeikh Abdel Rahman mengatakan, makanan di Aceh tak jauh beda dengan di Malaysia. “Saya sudah sangat terbiasa dengan makanan Melayu karena sudah 12 tahun datang ke Malaysia setiap bulan Ramadhan. Jadi, makanan di Aceh tak masalah bagi saya. Yang penting, makanannya halal dan tidak berbahaya bagi kesehatan,” timpal Syeikh yang saat itu memakai busana kebesaran Universitas Al-Azhar.

Ia juga mengatakan, perhatian untuk membangun, memelihara, dan memakmurkan masjid di Aceh mungkin nomor dua di dunia setelah Arab Saudi.
Sehubungan dengan datangnya bulan Ramadhan tahun ini, ia mengajak seluruh umat Islam untuk bersyukur kepada Allah SWT karena sudah dipertemukan kembali dengan bulan yang penuh dengan rahmat, ampunan (maghfirah), dan pembebasan dari api neraka ini.

“Jadi, mari kita manfaatkan kelebihan-kelebihan bulan suci ini. Gunakan bulan latihan menahan hawa nafsu ini untuk mencapai derajat takwa yang permanen agar sepanjang hayat kita tetap taat dan ikut perintah Allah SWT. Mudah-mudahan semua amalan yang kita kerjakan selama Ramadhan, dapat terus berlanjut di luar bulan Ramadhan,” pesan Syeikh.

BANDA ACEH -- Proyek pembangunan jembatan Krueng Tingkeum, Kutablang, Kabupaten Bireuen, masih terbengkalai. Karenanya masyarakat sekitar harus menggunakan rakit untuk menyeberang. Sementara kondisi badan jalannya yang juga belum teraspal menyebabkan musim kemarau banyak debu, sedangkan pada musim hujan, badan jalannya menjadi becek.

Jembatan Krueng Tingkeum Terbengkalai
Jalan alternatif yang terlalu jauh, masyarakat memilih menumpang boat untuk menyeberangi Krueng Tingkeum, Kutablang, Bireuen, dengan harus membayar Rp. 5.000 untuk sekali jalan

Sejak jembatan itu dibongkar maret lalu, masyarakat yang berada di sebelah kanan sungai (Banda Aceh-Medan), yaitu Desa Tingkeum Baro, Pulo Reudeup, Geulanggang, Muenje, Cot Ara, dan lainnya yang hendak ke pasar Kutablang harus putar jalan sepanjang 8,5 km, melintasi jembatan rangka baja Mon Kelayu, jalan Samuti Aman, dan terakhir ke ujung jembatan sebelah timur, baru bisa tiba ke pasar Kutablang.

Sementara asyarakat yang berada di sebelah kiri sungai (Medan-Banda Aceh) yang ingin ke Matanggeulumpang Dua harus putar jalan sepanjang 7,5 km melintasi jalan Desa Tingkeum Manyang, Blang Mee, Pante Baro, Kubu, melewati jembatan rangka baja Pante Lhong terus ke simpang empat Gie Kapal, kembali ke jalan nasional.

Dalam sebulan terakhir, untuk memperpendek rute jalan yang memutar itu, sudah ada beberapa kelompok masyarakat yang menyediakan rakit penyeberangan. Tarif penyeberangannya untuk sekali jalan adalah Rp 5.000/sepmor bersama pengenderanya. Tak tanggung-tanggung, kadang dalam satu hari, ada dua sampai empat kali masyarakat harus menyeberang, biayanya bisa mencapai Rp 20.000.

Sedikit kemudahan itu hanya dirasakan oleh pengguna sepeda motor, tidak dengan kendaraan lainnya. Kendaraan seperti mobil penumpang umum, barang, dan mobil pribadi, terpaksa harus melintasi jalan alternative yang panjang berlekok dan berdebu itu.

Mendapat laporan tersebut, Gubernur Aceh, dr Zaini Abdullah meminta kepada Satker Jalan Nasional I Aceh yang bertanggung jawab terhadap pembangunan kembali jembatan Krueng Tingkeum tersebut agar bisa mempercepat pelaksanaan pembangunannya.

“Hampir setiap hari masyarakat yang berada di jalur alternatif mempertanyakan kepada kami, kapan pembangunan jembatan Krueng Tingkeum yang terletak di ruas jalan nasional tersebut dibangun kembali. Mereka sudah tak tahan dengan debu jalan dan harus mengeluarkan dana Rp 5.000 untuk satu kali penyeberangan naik rakit,” kata Zaini Abdullah pada pertemuan dengan Kepala Balai PU Jalan Nasional I Aceh, Faturrahman dan sejumlah Kasetker maupun PPK Jalan Nasional, Senin (5/6/2017) malam di Pendapa Gubernur Aceh.

Selanjutnya, Gubernur Zaini mengingatkan kepada Kasatker dan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Jalan Nasional Wil I Aceh, untuk terus memelihara rute jalan alternatif Jembatan Krueng Tingkeum itu dengan baik mengingat tiga minggu lagi sudah masuk kegiatan angkutan Lebaran yang pastinya aktivitas dan volume kendaraan meningkat dari kondisi normalnya.

Menanggapi permintaan Zaini tersebut, Kepala Kasatker PU Jalan Nasional I Aceh, Faturrahman Raden, didampingi Kasatker dan PPK-nya mengatakan, proses tender proyek pembangunan jembatan Krueng Tingkeum itu telah selesai dan pemenangnya juga sudah ada, yaitu PT Reskarya Joint Operational dengan perusahaan lokal.

Menurut laporan kontraktor, kata PPK Kasatker Jalan Nasional, Amri, kontraktor pemenang proyek jembatan Tingkeum saat ini sedang dalam pengiriman besi tiang pancang jembatan dari Lampung ke Aceh.

Menunggu tiba tiang pancang jembatan di lokasi, sekaranag ini kontraktor telah melakukan persiapan pekerjaan, apa saja yang bisa dikerjakan lebih dulu, akan dikerjakan. Misalnya, melakukan pengukuran untuk pembangunan kepala jembatan.

Tanggung jawab lainnya, lanjut Amri, pemeliharaan badan jalan alternatif. Jalan yang berlubang ditimbun dan kemudian digilas pakai mesin gilas untuk memeratakannya. Setiap hari sudah disediakan dua alat berat untuk meratakan badan jalan yang berlubang tersebut.

Sementara itu, Kapolres Bireuen, AKBP Riza Yulianto SE SH menilai, kondisi ruas jalan alternatif sebelah utara jembatan Krueng Tingkeum, Kutablang, Kabupaten Bireuen, dapat dianggap memadai. Kendaraan besar, sedang, maupun kecil bisa melintas, namun dibeberapa tempat memang telah berlubang dan bergelombang, sehingga itu perlu segera diperbaiki, mengingat tak lama lagi akan memasuki mudik lebaran.


Menurut informasi yang dihimpun, 48 tiang pancang dan perangkat lainnya untuk pembangunan jembatan Krueng Tingkeum yang didatangkan dari Jakarta kini dalam perjalanan ke Bireuen. Diperkirakan, pada 20 Ramadhan tiang-tiang pancang tersebut tiba ke Bireuen. Sedangkan pembangunan jembatan baru akan dimulai seusai Lebaran Idul Fitri dan akan rampung akhir Desember 2017.

Anda tentunya sudah tidak asing lagi dengan lagu Kutidhing dan Rihon Meulambong yang dipopulerkan Liza Aulia. Begitu juga dengan lagu Hasan Husen yang dibawakan Rafli. Namun, hanya sedikit yang tahu siapa sosok dibalik meledaknya lagu-lagu itu di pasaran. Dialah Syekh Ghazali LKB, sang produser perusahaan rekaman Kamoe Sajan Gata atau yang lebih dikenal dengan Kasga Record.

Sosok Dibalik Meledaknya Kutidhing, Syekh Ghazali LKB Mengaku Kembangkan Musik Berawal Dari Ejekan
Sosok Dibalik Meledaknya Kutidhing, Syekh Ghazali LKB Mengaku Kembangkan Musik Berawal Dari Ejekan


Om Syekh, begitu ia biasa disapa, adalah pria kelahiran Samalanga, 17 Agustus 1963 silam. Ia mulai berkecimpung di dunia musik Aceh sejak tahun 1998 saat pertama kali membentuk Kasga Record. Namun, Jauh sebelum itu ada cerita menarik untuk diulik dan menjadi titik balik perjalanannya dalam mengembangkan musik Aceh.

Era tahun 80-an, ia merantau ke Jakarta. Disana, ia mempunyai teman dari berbagai suku seperti Sunda, Jawa dan Batak. Mereka sering berkumpul dan menyanyi dengan membawakan lagu-lagu khas daerah mereka. Sampai tibalah giliran Syekh Ghazali untuk bernyanyi.

Pria yang hobi membaca ini pun kebingungan akan menyanyikan lagu apa. Ia akhirnya menyanyikan lagu Bungong Jeumpa, lagu wajib daerah Aceh yang sudah dikenal di seluruh Indonesia. Namun, tembang yang ia nyanyikan mendapat tanggapan dingin dari rekan-rekannya.

Bahkan ada salah satu teman yang kerap menyindirnya. “masak cuma lagu Bungong Jeumpa saja dari dulu dibawakan Aceh, lagu lain mana?”

Sudah tentu pasti sindiran itu membuat Om Syekh tersinggung. “Suatu saat nanti saya akan membuat lagu Aceh dan memperkenalkan lagu Aceh pada mereka,” batin Syekh.

Berawal dari kejadian itu semangat dan motivasi untuk memajukan Aceh di bidang musik pun mulai dalam dirinya. Setelah ia kembali ke Aceh pada tahun 1993, ia mulai merintis usaha untuk mengumpulkan modal. Kala itu ia pernah menyewakan buku dan novel miliknya dengan sistem antar jemput dan dari pintu ke pintu. Ia juga menyulap ruang tamu rumahnya menjadi ruang baca. Selain itu, ia juga menjadi distributor Teka Teki Silang.

Setelah memiliki sedikit modal, pada Tahun 1998 ia pun mulai belajar menjadi produser pada Ibnu Arhas, yakni salah seorang musisi Aceh yang karya-karyanya cukup digemari oleh masyarakat. Pada 2001, ia dikenalkan dengan Rafli oleh seorang temannya. Tahun 2002 ia mengeluarkan karya perdananya yaitu Cut Intan, Ainal Mardhiah dan Hasan Husen. Tahun 2003 ia memproduksi album Cut Miranda dan Rapai Kolaborasi Etnik Trendi (Raket).

Selain pada Ibnu Arhas, ia juga menimba ilmu pada Cut Rosmawar. Dengan banyaknya lagu-lagu Aceh yang diproduksinya, ia telah membuktikan kepada teman-temannya dulu bahwa lagu Aceh bukan hanya Bungong Jeumpa dan Bungong Seulanga.


Berkat kerja kerasnya dalam memajukan musik Aceh, 2014 lalu ia pun mendapat Anugerah Banda Aceh Madani 2014 oleh Wali Kota Banda Aceh sebagai pelopor musik etnik Aceh.

Lagu Tanoh Lon Sayang adalah lagu Wajib Daerah Aceh selain Bungong Jeumpa dan Aneuk Yatim. Lagu ini memang sangat terkenal dikalangan masyarakat Aceh dan dan telah terpilih menjadi lagu Wajib Daerah Aceh pada tahun 2007.

Sementara itu, ada beberapa sumber yang mengatakan dan meyakini bahwa lagu Tanoh Lon Sayang merupakan ciptaan Anzib Lamnyong seorang diri dengan judul asli Aceh Lon SayangTanoh Lon Sayang yang dipercaya merupakan ciptaan komponis T. Djohan dan Anzib Lamnyong pun menjadi sedikit kontrofersi. 

Anzib Lamnyong, Maestro Aceh Pencipta Lagu Aceh Lon Sayang
Anzib Lamnyong, Maestro Aceh Pencipta Lagu Aceh Lon Sayang
(Foto: Pictaram.com)

Menurut ulasan music.or.id, mereka mengatakan bahwa Lagu Aceh Lon Sayang termaktub di halaman pertama buku Irama Dairah Atjeh dengan judul ‘Atjeh Lon Sajang’. Mereka percaya, T.  Djohan dan Anzib Lamnyong memang telah menghasilkan banyak lagu yang sekarang dianggap sebagai warisan endatu, seperti lagu Mars Iskandar Muda, Cut Nyak Dhien, Bungong Keumang, Teungku Tjhik Di Tiro, Teuku Oemar, dan lain-lain. Tetapi, setelah menemukan bukti tertulis tersebut, mereka percaya bahwa judul asli lagu Tanoh Lon Sayang adalah Aceh Lon Sayang, dan diciptakan oleh sang maestro musik Aceh, almarhum Anzib Lamnyong.

Semasa hidupnya, Anzib Lamnyong telah menciptakan ratusan lagu yang terbagi dalam tiga kategori, yaitu Irama Daerah Atjeh (1916-1967), Buhu Atjeh (1950-an) dan Irama Atjeh Baroe (sejak 1964).  Lagu Aceh Lon Sayang termasuk lagu-lagu yang diciptakannya pada masa IDA, dibuat tahun 1955 dan diberi nomor 50.

Menurut mereka, setelah buku itu diterbitkan (1966), kemungkinan besar pernah ada kolaborasi antara T. Djohan dan Anzib untuk merubah lagu tersebut, sehingga T. Djohan juga dianggap sebagai bagian dari pengarang.

Selain sebagai seorang Maestro musik Aceh, Anzib Lamnyong yang memiliki nama asli Abdul Aziz ini juga dikenal sebagai sastrawan. Pria kelahiran 1892 di Silang Kampung Rukoh (wilayah Darussalam)  Banda Aceh itu juga pernah menjadi guru di beberapa Sekolah Rakyat dan pensiun pada tahun 1957.

Kreatifitasnya bermula sejak tahun 1927 saat ia mulai menulis berbagai cerita pendek untuk dimuat di berbagai surat kabar terbitan Medan. Namun, sejak tahun 1916 ia telah mengumpulkan berbagai karya sastra dan budaya Aceh sebagai wujud kecintaannya di bidang bahasa dan sastra. Anzib juga pernah memberikan kursus bahasa Aceh pada opsir-opsir Belanda.

Karir seninya mulai dibangun sejak ia belajar bermain biola pada tahun 1914-1916. Karena kepiawaiannya itu, ia menjadi violis dalam muziek-vereeniging Aceh Band yang dipimpin oleh ABC Theuvenet antara tahun 1917 sampai 1920. Setelah itu, ia menjadi violis di Deli Bioskop Kutaraja. Ia juga bergabung dengan  Muziek-vereeniging De Endracht. Tak puas hati, pada tahun 1922, ia pun mendirikan grup musik sendiri yang diberi nama laasmuziek di Lamnyong sampai tahun 1926. Sesudah itu hampir, ia vakum dalam dunia musik hampit seperempat abad lamanya. Baru pada tahun 1955 ia kembali bermusik.

Setelah kembali bermusik, ia menjadi violis orkes daerah Indahan Seulawah dan memainkan lagu-lagu daerah yang disiarkan melalui RRI Kutaraja. Lagu-lagu yang sempat populer waktu itu di antarnya Atjeh Lon Sayang, Nanggroe Atjeh, Bungong, Sulthan Iskandar Muda, Gunongan, Prang Atjeh dan sebagainya yang merupakan karangan Anzib dan kawan-kawan.

Tahun 1959, grup ini terpaksa harus bubar karena perbedaan pendapat antara DA Manua dan Anzib. DA Manua menginginkan segi-segi hiburan lebih ditingkatkan dengan tidak semata-mata membawakan lagu-lagu daerah. Perselisihan tersebut terlukis dalam beberapa catatan harian Anzib. “DA. Manua kurang mengetahui bahwa di daerah Aceh juga mempunyai lagu-lagu sendiri yang khas,” tulis Anzib dalam catatan hariannya tahun 1961.

Semasa hidup, Anzib telah menciptakan lebih dari 200 lagu Aceh. Tahun 1974, ia memperoleh Piagam Penghargaan dari Gubernur Aceh atas jasa dan karyanya di bidang bahasa dan pendidikan. Anzib Lamnyong akhirnya menghadap sang pencipta dalam usia 84 tahun di Banda Aceh pada 1976 silam.


Lain halnya dengan Anzib Lamnyong, tidak banyak informasi yang menjelaskan siapa itu T. Djohan. Sebagian orang mengaitkannya dengan almarhum Mayjen Teuku Djohan yang pernah menjadi Wakil Gubernur Aceh. 

Menurut investigasi yang dilakukan Atjehpost.co dengan putra almarhum Mayjen Teuku Djohan tersebut yang bernama Teuku Irwan Johan, mengungkapkan tidak benar bahwa ayahnya merupakan pecipta lagu Tanoh Lon Sayang

"Almarhum ayah saya, nyanyi pun tidak bisa. Jadi tidak benar kalau pecipta lagu Tanoh Lon Sayang adalah ayah saya,” ujar Teuku Irwan Johan sebagaimana kami kutip dari Atjehpost.co.


Berarti, besar kemungkinan Teuku Djohan yang dimaksud bukanlah Mayjen Teuku Djohan yang pernah menjadi Wakil Gubernur Aceh itu. Mungkin Teungku Johan yang lain yang mungkin seorang musikus sahabar dekat Anzib.


Teks Asli Lagu Aceh Lon Sayang

Menurut berbagai sumber, Lagu Tanoh Lon Sayang sebenarnya adalah versi pendek dari lagu karya Anzib Lamnyong berjudul Aceh Lon Sayang atau dalam ejaan lama ditulis ‘Atjeh Lon Sajang’. Meski tak ada bukti konkrit perubahan lagu Aceh Lon Sayang menjadi Tanoh Lon Sayang adalah kesepakatan bersama antara Teuku Djohan dan Anzib, yang pasti, lagu Aceh Lon Sayang diciptakan Anzib seorang diri. 


Ulasan Atjehpost.co dan musik.or.id menunjukkan lagu versi panjangnya dalam buku karya Anzib Lamnyong berjudul Irama Dairah Atjeh. Dalam buku yang diterbitkan tahun 1966 itu tertulis bahwa lagu Atjeh Lon Sajang diciptakan tahun dengan tulisan pada kanan atas terdapat tulisan :lagee ngoen sjaee (lagu dan lirik) ditulis oleh ANZIB.


Teks Asli Lagu Aceh Lon Sayang
(Foto: Atjehpost.co)


Berikut adalah lirik aslinya: 

ATJEH LON SAJANG 

1.
Dairah Atjeh tanoh lon sajang
Sabab disinan teumpat lon lahe
Tanoh keuneubah endatu mojang
Nibak teumpat njan lon udep mate

Di sinan teumpat gampong halaman,
Lampoh deungon blang luah bukon le
Laot ngon darat seuneubok ladang
Leupah le sinan djiteuka wase

2.
Mita raseuki tjari makanan,
Deungon peukajan bandum Tuhan bri
Hukum sjariat teeebet seumbahjang
Inong ngon agam geupubuet sare

Wareh ngon kawom karong ngon rakan,
Meuhimpon sinan hana tom meutjre
Meuaneuk tjutjo lam makmu aman
Han saeue sinan njang na meuseuke 

3.
Na pat lon peugah susah sukaran
Bak wareh rakan diuneuen ngon wie
Na soe tem tem tulong, 'oh matee alang
Na soe tem tanom, 'oh watee mate

Keuredja udep na soe peutimang
Na soeu peuseunang keureudja mate
Hate njang susah lon rasa seunang
Atjeh lon sajang sampoe 'an matee

Pada pengantar buku itu, Anzib mewanti-wanti bahwa semua syair dalam buku itu baru dapat dinyanyikan oleh orang lain atas persetujuannya. Ia bahkan melarang mengganti nada lagunya. 
Larangan itu ditulisnya dalam kalimat seperti ini:

Bandum sjae ngon panton dalam buku njoe, maseng-maseng ka na buku iramadji deungon not balok atawa not angka. Bek sagai-sagai geupeunjanji deungon lagu2 laen. (Semua syair dan pantun dalam buku ini, masing-masing sudah ada iramanya dengan not balok atau not angka. Jangan sekali-kali menyanyikannya dengan nada lain). 

Soe njang meunabsu keu buku iramadji, djeuet geulakee bak peungarangdji deungon geumeurunoe beukeubit-keubit. Meunjo ka djeuet ka geudeungo le pengarang, baro geubri peureuseutudjuan, djeuet geumeuen ditempat umum atau Studio RRI. (Barang siapa yang ingin iramanya, bisa meminta kepada pengarangnya dengan syarat dipelajari sungguh-sungguh. Kalau sudah mendapat persetujuan dari pengarang, barulah boleh dinyanyikan di tempat umum atau di Studio RRI).

Buhu ngen sjae dalam buku njoe nakeuh hak peungarang njang djeuet geutuntut nibak peungadelan meunurot peuratoran undang2 Negara Republik Indonesia. (Syair dalam buku ini adalah hak pengarang yang bisa dituntut di pengadilan menurut undang-undang Negara Republik Indonesia.

PEUNGARANG,
BANDA ATJEH, DJULI 1966



MKRdezign

{facebook#https://facebook.com/} {twitter#https://twitter.com/SeuramoeJeumpa} {google-plus#https://plus.google.com/u/0/104845329941163045524}

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget