Anda pasti pernah mendengar tentang Hikayat Prang Sabi bukan? Lalu apa sebenarnya isi dari Hikayat Prang Sabi yang terkenal itu?

Hikayat Prang Sabi adalah sebuah Mahakarya Aceh berupa sastra berbentuk hikayat yang intinya berisi tentang seruan berperang melawan Belanda. Hikayat Prang Sabi sendiri dituliskan tahun 1881 oleh seorang Ulama Aceh bernama Haji Muhammad atau yang lebih dikenal sebagai Teungku Chik Pante Kulu. Teungku Chik Pante Kulu adalah seorang putra Aceh kelahiran Pante Kulu, Kemukiman Titue, Pidie. Menurut sebagian pendapat, Hikayat Prang Sabi ditulis oleh Teungku Chik Pante Kulu ketika beliau dalam perjalanan pulang dari Mekkah ke Aceh. Saat itu, Tengku Chik Pante Kulu yang sudah 28 tahun belajar di Mekkah, memutuskan pulang ke Aceh untuk melawan kolonial Belanda. Besar kemungkinan Hikayat Prang Sabi ditulisnya di atas kapal selama pelayarannya dari Arab ke Aceh.


Pengaruh Hikayat Prang Sabi dalam Sejarah Perang Aceh
 Teungku Chik Pante Kulu, Penulis Hikayat Prang Sabi.
Foto: Ist

Menurut sebagian pendapat yang lain, Hikayat Prang Sabi yang ditulis oleh Teungku Chik Pante Kulu adalah merupakan suruhan Ulama Aceh bernama Teungku Chik Abdul Wahab Tanoh Abee atau yang lebih dikenal dengan Teungku Chik Tanoh Abee. Hal ini bermula saat Teungku Chik di Tiro Muhammad Saman meminta izin kepada Teungku Chik Tanoh Abee untuk berperang melawan Belanda. Saat itu Teungku Chik Tanoh Abee menanyakan pada Pada Teungku Chik di Tiro: “Soe yang muprang dan soe yang taprang? (Siapa yang berperang dan siapa yang akan diperangi?)”

Akhirnya, Teungku Chik Tanoh Abee merestui Teungku Chik di Tiro untuk mengobarkan peperangan terhadap Belanda. Dalam dukungannya, Teungku Chik Tanoh Abee mengarang sebuah versi Hikayat Prang Sabi dalam bahasa Arab yang dikhususkan untuk Panglima Prang. Sementara itu, ia meminta Teungku Chik Pante Kulu untuk menulis Hikayat Prang Sabi dalam huruf arab berbahasa Aceh yang dikhususkan untuk laskar perang. Hikayat Prang Sabi karangan Teungku Chik Pante Kulu inilah yang membawa pengaruh luar biasa dalam membangkitkan semangat jihad laskar Aceh dalam berperang melawan Belanda.

Salah satu bagian paling penting dari Hikayat Prang Sabi karangan Teungku Chik Pante Kulu adalah pada mukadimah. Bagian ini pula yang menunjukkan secara jelas tujuan ditulisnya hikayat tersebut. Setelah diawali dengan puji-pujian kepada Allah pencipta semesta alam, syair-syair pada mukadimah berlanjut pada seruan untuk turun perang. disamping itu juga disebutkan pahala-pahala yang diperoleh bagi orang-orang yang berjihad dalam prang Sabi.

Mahakarya Hikayat Prang Sabi ditulis oleh Teungku Chik Pante Kulu mendapatkan apresiasi yang luar biasa di mata dunia sampai sekarang, juga menjadi momok menakutkan bagi Belanda saat hikayat ini di kumandangkan kala itu. Seorang pengarang Belanda, Zentgraaf pernah menulis, "Para pemuda meletakan langkah pertamanya di medan perang atas pengaruh yang sangat besar dari karya sastra ini yang sangat menyentuh perasaan mereka yang mudah tersinggung. Ini karya sastra yang sangat berbahaya".

Menurut Zentgraaf, hikayat Prang Sabi telah menjadi momok yang sangat ditakuti Belanda saat itu, sehingga siapa saja yang diketahui menyimpan (apalagi membaca) Hikayat Prang Sabi, mereka akan mendapatkan hukuman dari pemerintah Hindia-Belanda. Sarjana Belanda ini menyimpulkan bahwa belum pernah ada karya sastra di dunia ini yang mampu membakar emosional manusia untuk rela berperang dan siap mati, kecuali Hikayat Prang Sabi karya Teungku Chik Pante Kulu dari Aceh. Karenanya, Belanda melarang membaca syair ini hingga tahun 1942.

Seorang sarjana barat lain, Prof. Dr. Anthoni Reid, ahli sejarah bangsa Autralia berkata: "Kegiatan para Ulama sekitar tahun 1880, telah menghasilkan sejumlah karya sastra baru yang berbentuk puisi kepahlawanan popular dalam lingkungan rakyat Aceh. Hikayat Prang Sabi adalah yang paling masyhur dalam membangkitkan semangat perang suci". Itu sebabnya, Sejarawan Aceh, Prof. Ali Hasjmy menilai bahwa hikayat Prang Sabi yang ditulis Tengku Chik Pante Kulu telah berhasil menjadi karya sastra puisi terbesar di dunia.


Kitab Hikayat Prang Sabi
Kitab Hikayat Prang Sabi yang Melegenda.
Foto: Ist

Menurut Hasjmy, Kitab Hikayat Prang Sabi adalah hikayat perang suci yang dibacakan dihalayak ramai dengan dua tujuan utama. Pertama untuk merekrut (mobilisasi) para pemuda (rakyat) untuk berperan aktif dalam perang melawan penjajahan Belanda. Kedua, untuk mengumpulkan biaya perang secara cepat dan praktis. Dengan demikian, kedua tujuan itu dicapai dengan sangat baik.

Menurut sebagian pendapat, Hikayat Prang Sabi biasanya didendangkan oleh seorang tukang cerita (Shahibul Hikayat) dengan suaranya yang khas, sementara beberapa orang yang lain akan berperan aktif dibagian-bagian hikayat yang menggugah perasaan mereka seperti menunjukan kebencian terhadap kafir penjajah atau dalam kalimat-kalimat tauhid yang dibacakan dalam syair. Memang, dalam kitab Hikayat Prang Sabi sangat banyak dijumpai kalimat-kalimat tauhid, terutama saat terjadi pergantian dari satu kisah ke kisah yang lain. Maka, dapat kita bayangkan betapa besar efeknya saat kalimat ikhlas tersebut berkumandang bergemuruh di Gampung atau arena keramaian tempat dibacakannya hikayat tersebut.

Pembacaan Hikayat Prang Sabi biasanya ditutup dengan pendaftaran pemuda-pemuda yang ingin berperang serta melakukan penghimpunan sumbangan. Disamping itu, hikayat ini dibaca secara perorangan. Pernah diceritakan, seorang penduduk kampung Peurada, Kemukiman Kayee Adang, daerah Mukim XXVI --sekarang Kecamatan Inginjaya-- bernama Leem Abah dengan penuh heroik menikam Belanda di Pekan Aceh. Pada suatu malam, Leem Abah mendengar seseorang membaca Hikayat Prang Sabi. Besoknya, di depan Societeit Atjeh Clup --sekarang Balai Teuku Umar--, saat dijumpainya seorang Belanda sedang berjalan-jalan, mendadak Leem Abah menghunus rencongnya yang disembunyikan dalam lipatan kain dan ditikamnya Belanda itu tepat pada dadanya. Belanda itu pun mati ditempat.

Ulama dan pujanggawan kelahiran 1836 M. di Desa Pante Kulu, Kemukiman Titeue, Kota Bakti, Pidie, memang telah lama meninggalkan kita. Namun, Hikayat Prang Sabi yang ditinggalkannya masih tetap hidup di relung-relung jiwa anak bangsa Aceh sampai sekarang. Ini adalah sebuah hasil karya sastra terbesar yang diakui dunia dan harus diteladani oleh generasi-generasi Aceh masa kini dan masa depan untuk menciptakan karya pembakar semangat juang Prang berbentuk Dakwah-Jihad.